Sendiri Tak Berarti Seorang Diri
Oleh : Almira Salsabila Ghassani A.
Sore
itu cuaca tidak bersahabat. Matahari tidak menampakkan sinarnya. Langit gelap
dan awan pun menangis, seakan ikut merasakan kepedihan hati seorang gadis, yang
menangis dalam diam.
Udara sangat dingin, kabut tebal menyelimuti.
Perlahan tangannya terangkat, menyentuh permukaan batu. Dingin, itulah yang ia
rasakan. Dinginnya merambat dari ujung jari, menjalar ke seluruh tubuh. Tanpa
sadar, tangan kirinya mengepal dengan kuat, menahan isak tangis yang bisa pecah
kapan saja. Tiba-tiba ingatan itu kembali, menghujam, bagai peluru yang
ditembakkan dengan kecepatan tinggi. “Ma, Lila kangen.”
Hari itu, 4 tahun
silam, sebuah rumah tampak ramai. Orang keluar-masuk tanpa henti sepanjang hari.
Seorang gadis kecil terlihat duduk di pojok ruangan. Rambutnya tidak beraturan
dan terlihat kusut. Wajahnya tampak pucat. Ia menatap lurus dengan tatapan
kosongnya. Matanya sedikit bengkak, genangan air terlihat di matanya, yang
sudah pasti akan menetes bila ia mengerjapkan matanya. Orang-orang hanya bisa
menatapnya iba.
Malam itu, seusai
upacara mitung dina, anak itu masih belum
menampakkan senyumnya. Sudah tujuh hari setelah hari menyedihkan itu, tetapi ia
tetap belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Entah sudah berapa orang yang
membujuknya keluar, tapi ia tetap mengurung diri di kamarnya. Sudah seharian ia
di kamar, memandang foto sepasang suami istri yang sedang menggendong buah
hatinya yang tertawa bahagia. Tangisnya pecah mengingat kenangan yang kini tak
bisa ia rasakan lagi. Nenek, hanya neneklah yang menjadi penopang hidupnya saat
ini.
Detik demi detik berlalu.
Hari silih berganti, kehidupan harus terus berjalan. Ia kembali ke rutinitas
pagi harinya. “Selamat pagi, Ma…” teriakannya terhenti, suaranya tercekat. Ia
ingat, mama sudah tiada. Ia berusaha keras untuk tersenyum, walaupun bibirnya
bergetar. Lalu ia berjalan tertatih-tatih menuju meja makan. Tiba-tiba ia
hanyut dalam lamunannya.
“Lila sudah siap?” tanya Nenek membuyarkan
lamunannya. “Sudah, Nek, Lila kan anak rajin,” jawab Lila berusaha untuk
tersenyum. Terbayang dalam benaknya, kejadian 2 tahun yang lalu. “Eh, Lila yang cantik ini sudah siap
ternyata?” kata seorang wanita paruh baya kepada seorang gadi kecil yang sudah duduk manis di meja makan. “Sudah
dong, Ma, Lila kan anak rajin,” jawab gadis kecil itu sambil tersenyum. Mama Lila
kemudian mengusap kepala gadis kecil itu dengan penuh kasih sayang, “Anak mama
ini sudah cantik, rajin, pintar, kok bisa sempurna gini sih,” kata mama sambil memeluk
Lila, “Jadi anak yang baik ya, Nduk, membanggakan mama dan juga papa yang sudah
menunggu Lila di surga.” Lanjut mama Lila dalam pelukannya. Lila mengeratkan
pelukannya kepada mamanya. Tiba-tiba terdengar suara dentingan di
hadapannya. Ternyata Nenek sudah mengambilkannya sarapan dan meletakkan piring
tepat didepannya.
“Makasih, Nek,” ujar
Lila. Ia pun makan dengan lahap. Pagi ini nenek memang sengaja membuat makanan
kesukaan Lila, nasi goreng sosis. Tapi tetap saja rasanya berbeda dengan nasi
goreng sosis buatan mama. Tanpa sadar, air mata Lila menetes. Namun ia segera
menghapusnya dan mencoba untuk tersenyum.
Setelah sarapan, Lila
mengambil tas dan pergi ke teras untuk mengambil sepedanya. Karena jaraknya
dekat sekaligus menghemat uang, maka sejak kelas 3 SD Lila pergi ke sekolah
menggunakan sepeda. Setelah berpamitan pada neneknya, ia pun berangkat sekolah.
Sepanjang hari, pikiran
Lila melayang. Ia kerap kali terlihat duduk diam dan melamun. Ia menyandarkan
kepalanya ke dinding, pandangannya lurus dengan tatapan kosong. Lila tersentak
kaget saat ibu guru menegurnya. “Tidak apa-apa, Bu, tadi cuma kepikiran
sesuatu,” jawab Lila sambil tersenyum, walaupun hanya menarik kedua sudut bibir
dengan paksa.
Tak terasa, bel pulang
sekolah pun berbunyi. Ia mengambil sepedanya dan pulang ke rumah. Sesampainya
di depan rumah, ia terpaku di depan pintu. Selama beberapa menit ia terdiam.
Biasanya setiap pulang sekolah, mama sudah menunggunya di depan pintu sembari
membaca, menjahit atau memeriksa tanaman. Ia menghela nafas dalam lalu masuk ke
rumah.
Hari
demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, semuanya melesat dengan cepat.
Lila sering menemui hal-hal yang kembali mengingatkannya kepada mama. Sampai
akhirnya waktu ujian nasional pun tiba. Selama tiga bulan menjelang UN, Lila
belajar siang dan malam. Setiap ada waktu luang, buku pelajaranlah yang ia
pegang. Tujuannya hanya satu, membuat mama dan papanya bangga di atas sana.
Bahkan setiap ia belajar, ia menggenggam foto kedua orang tua sambil sesekali
memandangnya dan berkata, ”Tenang ya, Ma, Pa, Lila pasti berhasil”.
Hari
ujian pun tiba. Nenek sibuk mendoakannya dari rumah. Tadi pagi ia bangun lebih
awal dari biasanya. Ayam jago belum berkokok, tetapi Lila sudah bangun. Ia
sibuk menyiapkan alat tulisnya. Beberapa hari yang lalu, Lila mengambil uang
tabungan untuk membeli alat tulis baru. Bahkan selama tiga hari itu, Lila
sarapan sambil mengulang kembali hafalannya. Selama tiga hari itu pula Lila
berangkat sekolah setengah jam lebih awal dari biasanya. Kini, Lila hanya perlu
menunggu hasil jerih payahnya.
Besok
adalah hari pengumuman. Nenek datang ke sekolah untuk melihat hasil ujian Lila.
Lila memutuskan untuk tidak ikut ke sekolah karena ia terlalu gugup untuk
mendengar hasil ujiannya. Lila tersentak kaget ketika mendengar ketukan pintu.
Ketika ia membukanya, ada nenek yang langsung memeluknya. Nenek melepaskan
pelukannya dan berkata, “Nduk, kamu
lulusan terbaik, NEM-mu 300.0, nilai sempurna, Lila”. Lila membeku, matanya
membulat sempurna. Senyumnya mengembang. Lalu tiga detik kemudian ia berteriak
kegirangan sambil melompat ke sana-ke mari mengelilingi rumah.
Lila
langsung diterima di SMP Negeri terbaik di kotanya. Ia sibuk mempelajari seluk
beluk sekolah barunya. Lila bertekad akan lebih giat belajar untuk mensyukuri
nikmat yang telah ia dapat. Hari-hari dilalui Lila dengan lebih baik. Dia
selalu berhasil mendapat nilai sempurna. Banyak teman yang menyukai Lila karena
kebaikan hatinya. Selain itu, Lila tampak semakin cantik dengan rambut hitam
bergelombangnya. Tanpa disadari, kini ia sudah kelas delapan.
“Eh,
katanya mau ada murid baru ya, Fan?” kata seorang gadis yang sibuk bergosip di kantin.
“Nggak tau, Sa, aku laper nih,” jawab
temannya. Rumor sudah menyebar bahwa akan ada murid baru di sekolah ini. Lila
hanya mengabaikan kabar itu. Istirahat pun usai, para murid segera menuju
kelasnya masing-masing. “Baik, anak-anak, perkenalkan ini Selia. Dia pindahan
dari Jakarta,” kata Bu Guru di depan kelas. Aku memperhatikan seorang gadis
cantik yang berdiri di sebelah Bu Guru. Pipinya sedikit chubby. Mata bulat dan berbinarnya menambah kesan imutnya.
Senyumnya yang ceria membuat orang ikut merasa bahagia setiap kali menatapnya.
“Kamu bisa duduk di sebelah Lila di sana,” kata Bu Guru kepada Selia. Selia
hanya tersenyum dan mengangguk. Lila memperhatikan Selia sepanjang pelajaran.
Hari demi hari berlalu,
Lila sadar bahwa Selia sangat ahli dalam pelajaran apapun. Soal-soal sulit
benar-benar tidak berarti baginya, ia mengerjakannya dengan sangat mudah bagai
menjentikkan jari. Karena sama-sama anak unggul di kelasnya, mereka sering
bersama. Setiap akan dipilih tutor sebaya untuk pelajaran apapun, pasti yang
akan dipilih adalah Lila dan Selia. Namun mereka memiliki karakter yang
berbeda. Lila orangnya lembut dan sedikit pemalu, sedangkan Selia sangat
percaya diri dan tidak bisa diam.
Tanpa mereka sadari,
mereka menjadi sangat dekat. Sampai akhirnya, “Mmm.. Sel, aku boleh ngomong
sesuatu nggak?” tanya Lila. “Ngomong
ajalah, apa susahnya ngomong sih?” canda Selia. “Kita sahabatan yuk?” ujar
Lila. “Hmm… gimana ya?” goda Selia, detik berikutnya Selia tersenyum nakal. “Yuk,
tapi ada syaratnya,” lanjut Selia. “Apaan sih tarik-tarik?!” pekik Lila yang
tiba-tiba ditarik Selia menuju kantin. “Syaratnya, kamu turutin permintaan aku
1 aja.” Kata Selia setelah mereka sampai.
“Bu! Semua utangku dibayarin
Lila, ya,” seketika Selia lari terbirit-birit sambil cekikikan. “Ini Lila,
tagihannya Selia,” kata ibu itu sambil menyodorkan sebuah kertas. Lila
membacanya dan langsung terbelalak. “27 ribu? Astaghfirullah anak itu kerjaannya nyusahin orang aja,” ujar Lila sambil menggelengkan kepala. Lila menatap
ibu itu lalu berkata, “Hehe, maaf, Bu, sudah masuk nih, duluan ya, Bu,” Lila mengambil langkah seribu keluar dari
kantin.
Persahabatan mereka
semakin lama semakin erat. Di mana ada Lila, dalam radius 10 meter pasti ada
Selia. Begitu juga sebaliknya. Selia tahu bahwa Lila sudah tidak punya orang
tua sehingga setiap ada yang mengingatkan Lila pada mendiang orang tuanya,
Selia langsung menghiburnya. Tetapi akhir-akhir ini Lila menyadari sesuatu.
Jika Selia bicara tentang orang tua, ekspresinya berubah meskipun tidak terlalu
tampak sehingga setelah satu tahun bersahabat, Lila baru menyadarinya.
Perubahan itu tampak pada
senyum dan matanya. Tatapan mata Selia menjadi sayu dan senyumnya seperti dipaksakan.
Beberapa saat kemudian, Selia memalingkan wajahnya dan sering sekali berkedip. Jika sudah seperti itu, Selia pasti akan
mengalihkan pembicaraan. Meskipun mereka sudah saling terbuka, tapi ada satu
hal yang mengganjal di hati Lila. Selia tidak pernah menceritakan tentang
keluarganya.
Tingkah laku Selia
sekarang semakin aneh. Teman-temannya sudah mulai bercerita tentang perayaan
wisuda SMP-nya karena kini sudah mendekati UN. Ada yang bercerita bahwa saat
wisuda, seluruh keluarga besarnya akan datang. Ada juga yang berkata bahwa
setelah wisuda, orang tuanya akan mengajak jalan-jalan ke luar kota. Dan masih
banyak lagi. Lila mulai resah.
Malam itu, hari Sabtu
jam tujuh malam, Lila sedang berjalan pulang seusai kursus matematika.
Langkahnya terhenti tatkala ia melihat seorang gadis terisak di dekat halte
bus. “Permisi,” kata Lila hati-hati. Gadis itu mengangkat wajahnya. Lila
terkejut, ia menutup mulut dengan kedua tangannya. Sedetik kemudian, Lila
langsung mendekati gadis itu, Lila panik. “Ya ampun, Selia kamu kenapa? Kamu
ngapain di sini? Kamu kenapa nangis?” tanya Lila sambil mengguncang-guncangkan
tubuh Selia. Kulitnya sangat dingin. Tiba-tiba Selia memeluk Lila.
“Aku itu memang nggak berguna, ya,” kata Selia. “Kamu
itu ngomong apa sih, Sel?” jawab
Lila. “Aku kok kayaknya nggak penting banget,” kata Selia. Lila berusaha
mencerna kalimat sahabatnya itu. “Sampai-sampai orang tuaku ngebuang aku ke panti asuhan pas aku baru lahir,” lanjut Selia lagi.
Kini alasan di balik perilaku aneh Selia sudah jelas. “Nggak Selia, nggak sama
sekali. Kamu itu penting bagi aku,” jawab Lila sambil menggelengkan kepalanya
dengan cepat. Selia tertawa kecil. Membuat Lila merinding hebat. “Kemarin ada
yang telfon papa asliku, aku denger…,” Selia berhenti. “Aku denger papaku ngomong, aku nggak
berguna, papaku nggak peduli apapun
tentang aku,” akhirnya isak Selia pun pecah lagi. Lila membiarkan Selia
menangis sepuasnya di dalam pelukannya.
“Makasih udah jadi sahabatku ya, La,” ujar Selia tiba-tiba. “Makasih udah mau terima aku apa adanya, semoga kita bisa ketemu lagi, ya,”
lanjut Selia yang sudah melepaskan pelukannya dan tersenyum. “Kamu mau ke mana,
Sel?” tanya Lila yang baru menyadari bahwa Selia membawa koper. “Kehidupan ini nggak boleh dibawa susah, iya kan?” Air
mata Lila sudah meluncur jatuh. “Aku nggak
mau nyusahin panti asuhanku terus,
aku mau mencari kebahagiaanku di luar sana, mencari pekerjaan dan menghidupi
diriku sendiri”. Selia tersenyum manis. Selia menoleh kembali dan berkata,
“Sekali lagi makasih”. Ia memasuki
bus yang entah kapan datangnya. Lila masih membeku.
Keesokan
harinya, Nenek mengantar Lila pergi menuju tempat yang menyimpan kenangan pahit
itu. Udara sangat dingin, kabut tebal menyelimuti. Perlahan tangannya
terangkat, menyentuh permukaan batu yang sudah tampak berlumut. Dingin, itulah
yang ia rasakan. Tangan kirinya mengepal dengan kuat, menahan isak tangis yang
bisa pecah kapan saja. “Ma, Lila kangen,” satu kalimat keluar dari bibir mungil
Lila. “Lila pasti akan membuat Mama dan Papa bangga”. Bibirnya kembali
terkunci. “Lila baik-baik saja kok, Ma,
sudah banyak pelajaran yang Lila dapat,” kata Lila lagi. Perlahan ia berdiri,
pandangan matanya masih terkunci pada tulisan nama di batu nisan itu. Ia tersenyum
dan berkata “Lila pasti bahagia kok,
Ma.” Ia pun beranjak meninggalkan tempat itu.
Komentar
Posting Komentar