Saksi Bisu, Langkah Kecilku
Oleh : Almira
Salsabila Ghassani A.
Hari itu, langit gelap.
Rintik-rintik hujan berlomba-lomba menjatuhkan dirinya ke bumi. Tampak seorang
anak sedang tersenyum lebar di tengah hujan, dengan penuh rasa syukur dalam
hatinya. Dilengkapi jas hujan kuning yang membungkus seragam merah putih, walau
tidak dapat mencegah air hujan membasahi tubuh mungilnya. Seperti mimpi, bisa bersekolah di sekolah yang sebesar dan sebagus ini.
Ujarnya dalam hati. Sebut saja ia Budi. Bel berdering dengan keras, iapun
berlari masuk ke dalam sekolah, tanpa menghilangkan senyumnya. Disitulah
kisahnya dimulai.
Sementara itu di kelas. Anak-anak
sudah siap di mejanya masing-masing. Anak-anak yang baru datang melangkahkan
kakinya masuk ke dalam kelas dengan semangat. Tiba-tiba seorang anak masuk
dengan yakin, ditemani sepatu lusuhnya yang sudah berlumuran lumpur.
Meninggalkan jejak kecokelatan di lantai putih nan bersih itu. Dengan rambutnya
yang basah kuyup serta seragam merah putih yang juga tidak dapat dibilang
kering. Tak lama kemudian, ibu guru memasuki ruang kelas.
Kegiatan pembelajaran berlangsung
lancar.
“Ada yang tahu kapan kita merayakan
hari pahlawan?” ujar bu guru di depan kelas. "Tanggal sepuluh November, Bu!”
suara kecil di ujung kelas berteriak. Ibu guru tersenyum.
“Benar sekali, Budi. Kita
memperingati hari pahlawan pada tanggal sepuluh November,” jawab Ibu guru di
depan kelas.
Budi termasuk anak yang aktif,
tampak dari bagaimana ia selalu bersemangat menjawab semua pertanyaan yang
dilontarkan oleh gurunya, baik pertanyaan yang ia mengerti atau hanya asal
menebak saja. Setiap ada hal yang tidak dapat ia cerna dengn baik, mulutnya
tidak akan diam saja. Semangatnya tidak berkurang hingga waktu pulang tiba.
Keesokan harinya, langit masih terus
menjatuhkan bulir-bulir bening dengan deras. Lagi-lagi tampak dari kejauhan,
jas hujan kuning transparan yang melompat-lompat pada setiap genangan air.
Sepertinya ia terlalu senang, hingga tak menyadari bahwa bel masuk sudah
berbunyi lima menit yang lalu. Setelah ia puas, ia segera berlari menuju
kelasnya.
Ia kebingungan sekarang, melihat Ibu
guru sudah mengajar di depan kelasnya. ia sibuk berjinjit agar kepalanya dapat
melihat melalui jendela yang terletak jauh di atasnya. Ia terkesiap ketika ibu
guru menatap tepat di matanya dari balik jendela.
“Masuk, Budi!” titah Ibu guru di
ambang pintu. Budi masuk dengan hati-hati. Pandangannya lurus ke lantai. Tetes
air menetes dari rambutnya yang basah dengan air hujan. Ibu guru memperhatikan
Budi yang menuju ke satu-satunya kursi kosong di pojok kelas. Tak luput jejak
kecoklatan yang berasal dari sepatu berlumpur Budi.
“Budi, sekali lagi kamu bikin kelas
kotor, kamu tidak boleh belajar di kelas lagi,” ucap bu guru. Budi yang belum
sampai tempat duduknya membeku. Entah mengapa satu kalimat bu guru itu
memadamkan semangat sekolahnya, bagaikan air memadamkan api. Sepanjang
pelajaran, Budi melamun. Ia malas untuk sekedar menjawab pertanyaan temannya.
Waktu pulang pun tiba.
Sepertinya langit pagi itu tak berpihak
pada Budi. Pagi itu sama suramnya dengan wajah Budi kini. Ia terdiam di depan
kelasnya. ia menunduk menatap sepatunya yang berlumpur seperti biasanya. Ia
memandang daun pintu dengan matanya yang sayu. Ia teringa perkataan ibu
kemarin. Dan tiba-tiba ia berbalik. Pikiran Budi menuntun kakinya untuk pulang
ke rumah.
Sementara itu di dalam kelas. Iu
guru tampak gelisah melihat daun pintu. Sesekali melihat jam dinding berwarna
biru dongker di dinding belakang kelas. Bel masuk sudah berbunyi satu jam yang
lalu. Namun Budi Masih belum menampakkan sehelai rambutnya sekalipun. Ibu guru
menghela nafasnya, ia menyesali perkataannya kemarin. Keadaan tak berubah
sampai hari-hari berikutnya. Budi tidak berangkat sekolah selama empat hari.
Lagi-lagi dewi fortuna tidak
berpihak pada Budi di pagi berikutnya. Hujan deras kembali menyapa bumi. Ibu
guru resah. Ia menunggu di depan kelas. Ia terus menengok ke sana-ke mari
mencari Budi. Bel masuk berbunyi. Ibu guru menghela nafas berat. Ia menunduk
dan perlahan berbalik hendak memasuki kelas yang sudah gaduh sejak tadi. Namun
langkahnya tiba-tiba terhenti. Bukan tanpa sebab
“Ibu Guru!!” suara kecil yang
familiar masuk kedalam indera pendengarannya. Detik itu juga ia balik badan dan
mendapati Budi sedang tersenym lebar ke arahnya. Namun ibu guru mendadak sadar
mengapa Budi tersenyum. Sepatunya, ia bungkus dengan tas kresek putih, mencegah
lumpur mengotori sepatu satu-satunya itu. Ibu guru membuang nafasnya lega. Ia
memeluk Budi, tak peduli dengan seragam Budi yang setengah basah.
Ibu guru mengambil sebuah kotak yang
sedari tadi ia letakkan di kursi panjang di depan kelas.
“Ini untuk kamu, Nak, maafin Ibu ya,” Ujar ibu guru. Budi
menerimanya dengan senang. Mukanya berseri-seri. Mukanya bertambah ceria saat
isi kotak itu sudah terpampang jelas di depan wajahnya. Sebuah sepatu. Sepatu
hitam dengan hiasan garis putih di sisi kanan dan kirinya. Tiba-tiba semua
teman-teman sekelasnya keluar. Satu anak yang merupakan ketua kelasnya
menyodorkan satu kotak kepada Budi. Budi menyernyitkan dahinya heran. Setelah
membukanya, ia memekik senang. Isinya adalah sepatu berwarna hitam dengan ujung
berwarna biru dongker. Mereka pun berpeluka bersama. Ibu guru melihat itu semua
sambil tersenyum. Demi cita-cita tidak
ada rintangan menghadang
Komentar
Posting Komentar