Obrolan di Angkringan


Karya : Almira Salsabila Ghassani Asmara

            Seorang wanita tampak mengusap peluh di dahinya. Beranjak keluar, menatap semburat jingga mentari yang mulai ditelan malam. Menengadahkan kepala, menatap angkasa yang berselimut awan kelabu. Mengisyaratkan tanda, tempias hujan akan menemaninya malam ini.
            Tiin…Tiin… Suara klakson mengalihkan atensiku. Mobil berpelat nomor familiar berhenti di depanku. Sempurna menutupi sebuah angkringan yang sedari tadi merebut minatku. Mobil tadi mengantarku dengan selamat menuju rumah. Sepanjang jalan pikiranku seperti tak di sini.
            Pikiran itulah yang menjadi alasan kakiku berjingkat-jingkat bak pencuri hingga sampai di sini. Dan di sinilah aku, menatap ragu susunan terpal-bambu di hadapanku. Sampai rintik hujan memaksaku masuk ke titik hangat tersebut. Mataku membulat melihat apa yang ada di sana.
            Entah mengapa aku jadi merasa selapar ini. Segera kusambar bungkusan bertuliskan nasi ayam lalu membukanya. Disusul sate usus, sate telur puyuh, bakwan, tahu bacem, dan…. Oh tidak, sudah penuh. Wanita pemilik angkringan terkekeh. Aku meringis malu. Tanpa babibu langsung kulahap semuanya. Di tengah kegiatanku mengunyah, sayup-sayup terdengar obrolan pemilik angkringan dan seorang kakek.
            Piye yo, beras ketane durung cukup je,” ucapnya setelah menghela nafas berat. Kunyahanku melambat. Tanpa sadar aku menajamkan pendengaranku.
            Mung dadi siji, sijine durung,” lanjutnya lagi. Aku mengerutkan kening. Apa yang ia bicarakan? Beras ketan? Apa yang mau ia buat dengan beras ketan?
            Bunyi jam tangan memecah lamunanku. Spontan berdiri ketika melihat angka yang ditunjuk jarum jam. Astaga, Mama sebentar lagi pulang. Dengan susah payah aku menelan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah dalam mulutku. Dengan gerakan secepat kilat aku membayar dan berlari keluar.
            Aku terduduk di depan pintu kamar, sibuk menetralkan detak jantung. Kulempar sembarangan jaket basah di tubuhku. Ya, aku menerobos hujan saat berlari pulang tadi. Tak lama kemudian suara pintu dibuka terdengar, aku yakin itu Mama. Aku melangkah keluar kamar dan menyambutnya dengan senyum lebar.
            Aku kembali teringat kata-kata kakek tadi. Kira-kira apa yang ia bahas? Mungkin Mama tahu sesuatu. Harapanku kandas ketika melihat Mama sudah terlelap di kamarnya. Baiklah, aku akan kembali ke sana besok.
            Batinku bersorak ketika melihat gerobak itu ada di sana. Tiin… ugh, aku sungguh tak ingin pulang. Sepanjang perjalanan di mobil aku hanya sibuk berharap kakek itu datang lagi. Segera setelah aku melangkahkan kaki masuk ke kamar, kusambar jaketku dan menyelinap dari pintu belakang dengan kunci cadangan.
            Kaki kecilku terus menelusuri jalan yang kemarin aku lewati. Syukurlah malam ini tidak hujan. Detik aku memasuki angkringan, detik itu juga aku merasakan kehangatan. Malam ini sedikit ramai. Oh tidak, kakek itu sudah di sana. Segera ku mengambil nasi kucing dan duduk di sampingnya.
            “Pengantine wis rampung, wingi tonggoku sing neruske,” kira-kira itu kalimat yang dapat aku tangkap. Aku menyuap nasi sambil terus berusaha mendengarkan.
            Dadosipun persiapanipun sampun bibar, mbah?” jawab wanita pemilik angkringan itu. Aku kembali menyuap nasi.
            Yo durung to nduk, isih kudu gawe barong,” jawabnya lagi. Kali ini diiringi kekehan kecil. Aku menghela nafas, otakku benar-benar buntu. Aku sangat ingin tahu sekarang.
            Wis yo, wis di tunggoni tonggoku,” ucapnya. Tunggu, aku masih belum tahu apa yang ia bicarakan. Aku menatap nyalang sosoknya yang menghilang di tikungan jalan. Baiklah, aku memang harus kembali lagi ke sini besok.
            Dengan langkah gontai aku kembali ke rumah. Mataku membulat ketika melihat mobil Mama memasuki halaman. Aku berlari, pahaku menabrak ujung meja. Segera kulepas jaketku, menghidupkan ponsel dan berbaring di kasur. Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk dari luar.
“Ray sayang, Papamu pulang, ayo makan di luar,” sebuah suara terdengar dari balik pintu.
“Oke, Ma!” sahutku. Aku tak perlu berganti baju. Kusambar ponselku dan segera keluar. Papa Mama sudah menunggu di dalam mobil. Dan ya, malam itu aku habiskan dengan makan malam keluarga.
            Aku mengernyit. Bukan karena matahari, namun karena apa yang ak lihat sekarang. Mengapa bambu-bambu itu hanya tergeletak disana? Di mana wanita itu? Oh tidak, ke mana perginya angkringan itu? Seharusnya bambu itu sudah tersusun rapi saat ini.  Apakah hari ini angkringan itu tutup? Semoga tidak. Mungkin hanya aku yang terlalu cepat menyimpulkan. Aku akan tetap ke sana malam ini.
            Aku melakukan rutinitasku akhir-akhir ini. Hanya bermodalkan jam tangan dan hoodie. Langkahku terhenti. Tenggorokanku tercekat ketika melihat bambu-bambu itu masih tergeletak di sana. Seharusnya jajaran ceret sudah tersusun rapi di sana. Seharusnya harum wangi jahe sudah tercium dari posisiku saat ini. Tapi kini tempat itu lengang. Sepi. Dingin.
            Aku menatap kakiku yang beralaskan sandal. Mencoba menyatukan semua petunjuk dari kakek itu. Nihil, otakku buntu. Ugh, apa gunanya status ranking satuku. Malah tidak berguna saat diperlukan.
            Aku melemparkan hoodieku sembarangan, entah mendarat di mana. Kemudian melempar ponsel ke kasur. Disusul tubuhku yang kubiarkan jatuh bebas dengan membenamkan wajah pada bantal.
            Sebuah bohlam lampu seakan muncul di atas kepalaku. Aku tahu. Mengapa tak terpikirkan sebelumnya. Segera kulangkahkan kaki ke meja belajar. Laptop merah-hitamku tergolek rapi di sana. Tak lama kemudian jari-jariku sudah menari di atas keyboard. Berusaha mencari kesimpulan dari potongan kunci yang belum jelas ini.
            Hari ini moodku tidak baik. Setelah setengah jam hanya mencari kata-kata yang kudengar, semuanya masih tidak jelas. Aku kekurangan petunjuk. Semuanya masih abu-abu. Aku sudah ingin menyerah, tepat sebelum mataku menangkap sesuatu. Wanita itu, pemilik angkringan. Sedang bersusah payah menyusun bilah bambu.
            Mataku membulat. Sudut bibirku tertarik ke atas. Aku akan mendapatkannya malam ini, petunjuk selanjutnya. Entah sudar berapa kalimat seruan yang tertuju pada supirku untuk mengemudi lebih cepat. Tubuhku tak bisa diam. Aku terlalu bersemangat. Malam ini aku akan datang lebih awal. Aku ingin mendengar semua perkataan kakek itu, semuanya.
            “Oh, kamu datang lagi, siapa namamu, nak?” Tanya wanita pemilik angkringan ketika aku masuk. Aku tersenyum tipis.
            “Ray, panggil saja Ray,” jawabku sambil melangkah lebih jauh.
Senyumku luntur begitu saja ketika melihat kakek itu sudah duduk di sana. Menyesap wedang jahe nya dengan tenang. Sial, umpatku dalam hati. Jam berapa sebenarnya kakek itu datang. Aku sudah berjalan ke sini sejak matahari belum bersembunyi. Bahkan adzan maghrib baru saja berkumandang.
                Aku memaksakan tersenyum. Lebih ke senyum kecut daripada manis. Aku duduk di seberang kakek itu, tempatku biasanya.
            Pripun, Mbah, sampun bibar persiapanipun?” tanya pemilik angkringan.
            Sitik neh, kostum prajurite durung,” jawab kakek itu.
            Tuku sarung abang ning ngendi yo, Nduk?” lanjut kakek itu lagi. Tunggu sebentar, kostum? prajurit? Apa hubungannya dengan petunjuk yang kemarin astaga. Apakah kakek ini setiap malam membicarakan hal yang berbeda? Bisa jadi memang aku hanya menghubung-hubungkan.
            Waduh, kulo mboten ngertos, Mbah,” jawab pemilik angkringan. Aku menghela nafas. Untuk memahami bahasa mereka saja sudah susah. Aku tak mengerti lagi. Dalam gerakan lambat aku membayar dan pergi dari sana dengan langkah terseok-seok. Malam itu aku habiskan dengan memikirkan petunjuk yang sudah aku dapatkan.
            Pagi ini aku bangun dengan kantung mata itam di bawah mata tajamku. Perkataan kakek itu masih terngiang-ngiang dalam benakku. Beras ketan, pengantin, barong, prajurit, merah, apa benar semua hal itu berkaitan? Aku memikirkannya lagi selagi memakan roti dengan selai yang disiapkan Mama. Entah Mama di mana, tapi sticky note yang tertempel di kulkas menjelaskan semuanya.
            Apa kalian tahu? Hari ini benar-benar melelahkan. Aku hampir di hukum guru matematika karena tidak memperhatikan di kelas. Guru bahasa indonesiaku juga sempat marah karena aku tidak menyelesaikan tugasku, namun malah tergugu melamun.
Jam istirahat juga hanya aku habiskan dengan menyangga kepalaku dengan tangan. Menatap ke luar jendela. Itu benar-benar bukan sosok Ray yang dikenal orang-orang. Dan semua itu hanya karena satu hal. Semua obrolan kakek di angkringan.
            Senyum tipis terbentuk di wajahku ketika melihat wanita itu ada di sana. Mungkin aku akan mendapatkan jawabannya malam ini. Kasus ini lebih sulit dari kasus di soal fisikaku. Aku memandang ke ujung jalan. Mobil yang familiar menyapa penglihatanku. Aku melangkah dengan tenang. Sampai aku  menyadari sesuatu.
            Aku memaksakan senyumku saat Mama bercerita bahwa pekerjaannya sudah selesai jadi ia bisa pulang lebih awal dan menjemputku. Aku balas dengan bercerita tentang hari-hariku. Dibubuhi sedikit kebohongan tentu saja.
            Entah sudah berapa kali aku menghela nafas. Aku benar-benar ingin berteriak sekarang. Malam ini Mama memintaku menemaninya berbelanja. Andai ia bukan orang yang melahirkanku, aku pasti sudah menolaknya mentah-mentah. Aku terdiam sepanjang perjalanan. Hanya memandang keluar jendela. Menyiapkan hati untuk melihat tempat itu.
            Rahangku mengeras saat mobil yang aku tumpangi meluncur melewati angkringan itu. Bahkan aku seakan bisa merasakan hangatnya, dan mencium bau wedang jahenya. Satu hal yang sangat menggangguku. Kakek itu ada di sana. Sedang asik mengobrol dengan wanita pemilik angkringan. Guncangan mobil menyebabkan kepalaku membentur kaca jendela. Aku memejamkan mata. Aku melewatkannya. Aku kehilangan petunjuk selanjutnya.
             Satu hari lagi berlalu tanpa semangat. Untuk apa? Tak ada yang peduli aku baik-baik saja atau tidak. Akhir-akhir ini hanya ada satu hal yang membuatku tersenyum, melihat angkringan itu ada di tempatnya. Mungkin ini yang disebut orang kalau bahagia itu sederhana. Mungkin tidak untuk orang tuaku. Terus bekerja tanpa henti. Berusaha mencari sesuatu yang jauh dari kata ‘sederhana’.
            Oke, aku sangat kesal sekarang. Aku ada pekerjaan rumah untuk pelajaran besok. Jadi aku harus tertahan di sini dengan soal-soal tak masuk akal. Aku menatap jam dinding jerih. Sudah jam tujuh malam. Angkringan itu sudah buka sekitar satu jam yang lalu. Jadi aku sudah ketinggalan satu jam obrolan kakek itu.
            Aku berlari. Tak peduli dengan orang-orang yang menatapku heran. Aku hanya ingin secepatnya sampai di sana. Lalu menemukan petunjuk selanjutnya. Yang mungkin jadi kunci dari semua ini. Angkringan itu sudah tampak dari sini. Cahaya jingga kekuningan yang memancar dari dalamnya. Siluet dua ceret yang sangat aku kenali. Wangi Jahe favoritku.  Aku hampir sampai.
            “Ray? Mengapa berlari? Makanannya masih banyak,” gurau wanita pemilik angkringan yang melihatku terengah-engah di depan angkringannya. Aku meringis menampilkan sederet gigi rapiku.
            Itu tak berlangsung lama. Sedetik kemudian aku bahkan tak bisa tersenyum lagi. Aku menatap nanar bangku itu. Bangku tempat Kakek biasanya duduk. Ke mana dia? Bagaimana aku bisa mendapat petunjuk kalau sumbernya saja tidak ada? Apakah aku memang tidak akan pernah menemukannya? Apakah aku memang tidak akan tahu acara apa yang kakek itu maksud?
            Segera setelah aku sadar, aku tersenyum kembali. Lebih ke menarik sudut bibir untuk formalitas dan etika.
            “Sebentar lagi aku ada acara, aku ingin makan di sini sebelum aku pergi,” ucapku lancar. Tidak terdengar seperti kebohongan sama sekali.
            “Aku minta teh panasnya saja satu,” ujarku sebelum terduduk lemas di bangku kakek itu. Pandanganku kosong. Aku tak tahu harus bagaimana.
            Nih habiskan, jangan minum terlalu terburu-buru, masih panas,” ujar pemilik warung dengan senyumannya.
            Emm.. permisi, kakeknya itu di mana ya?” tanyaku pada pemilik angkringan.
            “Kakek siapa ya?” jawabnya bingung.
            “Kakek yang biasanya duduk di sini,” lanjutku sambil menunjuk kursi yang aku duduki.
            “Oalaah.. Mbah Sugeng?” tanyanya memastikan. Aku mengerutkan kening.
            “I..iya itu… sepertinya,” jawabku dengan memelankan kata terakhirnya.
            “Kemarin sih katanya malam ini memang nggak datang, mau nyiapin acara besok,” ujarnya sambil menyeduh teh pesanan pelanggan. Mataku membulat.
            “Kalau boleh tahu, acara apa ya?” tanyaku lagi. Aku benar-benar geregetan sekarang. Tinggal sedikit lagi, semuanya jelas.
            “Waduh kalo itu saya juga kurang tahu, Ray,” jawabnya. Hatiku mencelos. Sama saja ternyata. Aku hendak beranjak pergi, teh panasku juga sudah habis.
            “Tapi saya pernah dengar tempat acaranya,” lanjutnya lagi. Langkahku terhenti. Sepersekian detik aku sudah sampai di depan pemilik angkringan. Aku menaikkan alis, menunggu wanita pemilik angkringan itu melanjutkan kalimatnya.
            “Acaranya di Ambarketawang, Gamping, daerah Sleman sana, katanya acara itu sudah ada rutin sejak dulu,” ujarnya. Aku tersenyum lebar.
            “Terimakasih,” ujarku sambil menjabat tangannya. Segera aku beranjak keluar dengan bahagia. Aku kira semua sudah selesai. Aku tinggal ke sana besok. Tidak akan ada masalah lain. Tanpa aku sadari. Aku salah besar
Kebahagiaanku seakan dicabut begitu saja. Senyum sudah tak tahan lagi berlama-lama di wajahku. Segera setelah aku berbalik, aku melihatnya. Tamu tak di undang. Yang kehadirannya sanagat tidak aku harapkan di sini.
“Ray, pulang, sekarang,” ujarnya.
“Iya…, Ma,” jawabku lemah.
Suasana di mobil menjadi jauh lebih mencekam dari biasanya. Perjalanan pulang juga terasa lebih cepat dari sebelumnya.
“Tunggu di kamar,” titah mama begitu memasuki rumah. Aku tidak menjawab, atau sekedar mengangguk. Aku hanya terus berjalan lurus ke kamar. Tak lama kemudian Mama memasuki kamar.
“Jadi ini kerjaan kamu selama ini?” tanyanya. Aku diam membisu.
“Jawab Ray!” nadanya meninggi. Aku mengeraskan rahangku.
“Apa salahnya,” jawabku tanpa melihat ke arahnya. Mama tampak sedang menahan semua ledakan emosinya.
“Kenapa kamu bohong sama Mama?” tanyanya lagi.
“Aku nggak pernah bohong, aku cuma nggak bilang Mama,” jawabku santai.
“Ray, yang sopan sama orang tua!” ia akhirnya membentakku.
“Udah berapa kali kamu kayak gini?” tanyanya lagi setelah hening sesaat.
“Sekitar… seminggu?” jawabku sambil menerka-nerka.
Ngapain sih, pergi ke warung rendahan kayak gitu?!” tanyanya. Aku mendongak, tak terima.
“Makan, emang kenapa?” tantangku dengan menaikkan alis.
“Oh iya, aku juga penasaran sama acara yang dibicarakan kakek-kakek sama pemilik angkringannya, acaranya besok ini, di Gamping, aku mau nonton,” lanjutku.
Nggak! Kamu besok nggak boleh pergi ke manapun,” ucap Mama final. Mataku membulat, nafasku memburu.
Nggak mau! Aku sudah bekerja keras untuk acara itu,” balasku tak terima.
“Berhenti ngurusin acara desa nggak jelas itu, besok kamu ada tes bahasa inggris,” jawab mamaku di ambang pintu. Aku menatapnya datar.
“Apa mama nggak sadar? Mama yang salah di sini,” ucapku. Gerakan Mama terhenti
“Aku nggak akan banyak bohong kalau mama nggak bikin banyak peraturan,” lanjutku lagi. Perlahan mama balik badan. Netra kami bertubrukan, pandanganku menajam.
“Mama harusnya sudah tahu sejak hari pertama kalau Mama nggak pulang malam, lebih mementingkan pekerjaannya daripada anaknya,” tambahku lagi. Bibirnya terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu.
“Aku punya sopir, pelayan pribadi, pengasuh pribadi, kenapa nggak mama yang mengantarku ke mana-mana, kenapa dulu aku malah lebih mengenal Mbok Inem daripada mamaku sendiri? Apakah sekarang dunia mama lebih penting dari anaknya?” ujarku datar, dingin, menusuk.
“Itu untuk masa depan kamu Ray, kamu mau besok kamu miskin?” elaknya.
“Masa depan ya? Sampai umur empat belasku ini saja, mama belum pernah menanyakan apa cita-citaku, apa gunanya hidup mewah kalau tidak bahagia? Mama suka lihat aku nggak bahagia?” jawabku.
 “Jadi tolong, jangan bersikap seperti Mama peduli,” ujarku sebelum membanting pintu. Aku bersandar pada daun pintu. Rahangku mengeras. Tanpa aku sadari, setetes cairan bening sudah meluncur menuruni pipi kiriku. Aku segera menghapusnya. Apa-apaan ini, aku bukan anak kecil, cengeng sekali.
Aku menghela nafas, aku sudah memutuskan. Aku tidak akan pulang hari ini. Dengan modal uang yang ada di dompet, aku memesan taksi online menuju tempat acara. Aku menunggu dengan gelisah. Hanya berdoa taksi itu datang lebih dulu daripada supirku. Aku mendesah lega saat melihat sebuah taksi berhenti di depanku.
Aku tak percaya apa yang aku lihat. Banyak sekali orang di sini. Oh, bukankah itu, kakek di angkringan? Sepertinya iya. Aku segera berlari ke arahnya.
“Kamu yang biasanya dateng ke angkringan kan?” kakek itu mengenaliku ternyata. Aku meringis sambil menggaruk rambutku.
“Hehe, iya, saya Ray, Kek,” ucapku.
“Kok bisa tahu acara ini? Kamu sepertinya anak kota,” tanyanya.
“Saya dengar obrolannya Kakek sama pemilik angkringan,” jawabku sambil tersenyum. Kakek itu tertawa kecil.
“Panggil saja Mbah Sugeng, kamu tahu asal-usul acara ini?” tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala lalu duduk di sebelahnya.
“Ini namanya Upacara Saparan Bekakak, sejarahnya, ritual upacara adat Saparan Bekakak iki wis muncul sejak tahun 1755 pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono masih tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang,” ujarnya. Aku hanya mengangguk.
 “Bekakak iki bertujuan untuk mengenang utusan Sultan Hamengku Buwono I bernama Ki Wirosuto dan istrinya, Nyi Wirosuto. Makhluk halus penunggu Gunung Gamping tidak menyukai bila ada manusia yang tinggal di Gunung Gamping. Ki Wirosuto dan Nyi Wirosuto akhirnya bertarung dengan makhluk tersebut, tapi mereka kalah karena tertimpa reruntuhan di Gua Gunung Gamping,” aku hanya terdiam.
 “Puncak dari Kirab Bekakak adalah penyembelihan bekakak atau sepasang pengantin sebagai wujud penghormatan kepada Ki Wirosuto atas pengorbanannya. Bekakak pada saparan ini hanya tiruan manusia saja, berwujud boneka pengantin dari beras ketan,” lanjutnya. Ini ternyata pengantin dan beras ketan yang disebut Mbah Sugeng di angkringan.
“Ray!” sebuah suara melengking memanggil dari kejauhan. Aku memejamkan mata , mendesah kecewa. Sepertinya gagal usahaku menonton acara ini. Aku berjalan menunduk ke arah Mama dan Papa yang menuju ke arahku. Setelah sampai, aku membulatkan mataku.
Tidak ada teriakan atau omelan yang terdengar. Melainkan dua lengan terasa memelukku. Itu Mama.
“Maaf, Ray, Maaf Mama nggak bisa jadi Mama yang benar untuk kamu,” ujarnya sambil mengeratkan pelukannya. Semua kata-kata seakan tertahan di tenggorokan. Aku tak bisa berkata apapun.
“Acaranya belum mulai kan? Mama sama Papa boleh ikut nonton?” tanyanya sambil tersenyum ketika melepaskan pelukannya. Aku tersenyum dan mengangguk
Ya, begitulah. Hari ini berakhir dengan sangat indah kurasa. Sepertinya, sejarah membawa berkah ya?

Komentar

Postingan Populer