Seharusnya Indah

Oleh : Almira Salsabila Ghassani Asmara


Hari itu seharusnya menjadi hari penuh kebahagiaan bagiku. Iya, seharusnya. Namun hari itu menjelma menjadi sebuah mimpi buruk. Di hari ulang tahunku.
             
            7 Mei 2018, jam 04:17 sore
            Aku menghela nafas berat. Aku meneguk cokelat panasku yang sudah mendingin sejak tadi. Menyesapnya dengan perlahan. Merasakan sensasi minuman itu yang mengalir dalam tenggorokanku.
            Sore ini langit menangis lagi. Kaca jendelaku tampak buram karena mengembun. Tanganku bergerak menyentuh permukaan kaca tanpa cacat itu. Dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Aku dapat merasakan mataku memanas. Sebelum akhirnya satu tetes air mata mengalir bebas di pipiku.Tepat hari ini, enam tahun yang lalu, peristiwa itu terjadi, menjelma menjadi kenangan burukku setiap tahunnya.
           
            7 Mei 2012, jam 00:01
            “Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday Aira, happy birthday to you,” nyanyian kompak menyapa indra pendengaranku. Di susul oleh tepuk tangan dan teriakan riuh di sekitarku. Perlahan aku membuka mataku. Sontak terduduk ketika melihat orang tua dan semua sahabatku di sekolah.
            Aku resmi berumur 12 tahun. Bertambahnya umurku aku rayakan bersama orang-orang tercintaku. Aku tidak menyangka mereka memiliki waktu untuk merayakan ini semua.
            “Kok bengong? Ciee.. terharu yaa..,” goda sahabatku sambil mecoel pipiku.
            Nggak sih, biasa aja,” cercahku.
            “Padahal tadi pas bangun kayak kaget banget gitu,” tambah sahabatku yang lain.
            “Ya aku kaget aja, kalian masuk kamar aku tiba-tiba,” elakku lagi.
            “Berisik,” ujar salah satu temanku yang mengoleskan krim di bawah hidungku dan langsung kabur.
            “Eh dasar itu anak,” aku mengejarnya sambil membawa potongan kue ulang tahunku. Akhirnya acara malam itu diakhiri dengan perang makanan. Kami sangat bahagia. Walau setelah itu orang tuaku datang dan langsung mengomel untuk membersihkan kekacauan yang kami buat.  
             Keesokan paginya aku di ajak ke sebuah restoran oleh sahabat-sahabatku. Mataku berbinar ketika melihat deretan menu yang tampak di sana. Mereka hanya tertawa melihat reaksiku.
            “Kamu terserah mau makan apa, kami traktir,” ujarnya. Aku langsung berlari ke meja kasir untuk memesan. Aku mengawali hariku dengan sangat baik hari ini. Sepulang dari sana, aku diajak orang tuaku untuk pergi jalan-jalan. Aku segera mengindahkan ajakan itu. Memori indah kembali tersimpan dalam otakku.
            Pertama-tama aku pergi ke taman bermain. Sepertinya aku menaiki semua wahana yang ada di sana. Kami juga sempat menaiki bianglala. Tak lupa pulangnya aku membeli es krim cokelat karena cokelat adalah rasa kesukaanku. Setelah itu mereka membawaku ke sebuah gerai baju di pinggir jalan. Aku membeli sekitar lima setel baju. Padahal aku mencoba hampir semua pakaian yang ada di gerai itu.
            Terakhir, mereka membawaku ke sebuah pantai. Kami menikmati matahari terbenam di sana. Di temani angin pantai yang sepoi-sepoi. Aku tenggelam dalam pelukan mereka. Kami bercengkrama santai mengenai berbagai hal. Sesekali mengomentari objek yang kami lihat. Perasaanku sudah tidak bisa dideskripsikan. Nyaman, aman, hangat, bahagia. Matahari sudah tergelincir di barat. Kami pulang.

            9 Mei 2012, jam 08:45
            Aku terbangun. Aku mencium bau yang terasa familiar. Aku perlahan membuka mata. Pusing tiba-tiba menyergapku. Setelah beberapa saat aku membuka mata kembali. Tunggu sebentar, ini bukan kamarku. Aku mengedarkan pandanganku ke penjuru ruangan serba putih ini. Tidak mungkin, mengapa aku di rumah sakit.
            Aku panik. Pikiranku kacau. Beribu-ribu pertanyaan muncul di otakku. aku memejamkan mata, berusaha mengingat apa yang terjadi. Perlahan-lahan sebuah adegan terputar kayaknya film. Di mana aku sedang tertawa bersama orang tuaku di mobil. Objek terakhir yang aku lihat adalah dua titik cahaya yang sangat menyilaukan dari arah kananku. Pusing kembali menghampiriku.
            Keringat membasahi tubuhku. Berbagai macam spekulasi memenuhi otakku. Aku sudah cukup dewasa untuk menerka apa yang terjadi. Aku mendongakkan kepalaku ketika mendengar sua ra pintu di geser. Kami saling tatap dan ia langsung berlari menghampiriku. Ia menekan tombol di samping ranjangku untuk memanggil dokter. Aku ingin bertanya, namun lidahku seakan membeku. Tak lama kemudian, seseorang yang tampak semperti dokter menghampiriku.
            “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya sambil menyinari mataku dengan senter kecil yang ia bawa. Aku tidak menjawab.
            “Apa kepalamu masih sakit?” tanyanya lagi. lagi-lagi aku tidak menjawab. Aku menatapnya dalam-dalam, meneguk ludahku dengan kasar.
            “Mama… Papa… mereka di mana?” tanyaku dengan suara serak yang terdengar putus asa. Sungguh pikiranku benar-benar kosong. Hanya ada satu hal yang ada di otakku.
            “Katakan padaku, mereka di mana?” tanyaku lagi sambil meremat jas yang ia kenakan. Mereka hanya saling tatap dalam diam.
            “Maafkan kami, mereka tidak terselamatkan,” jawabnya sambil menunduk. Pegangan tanganku mengendur. Aku terduduk lemas. Jawaban itu meluluhlantakkan system syarafku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil tertawa kecil.
            “Jawaban apa itu, aku bertanya di mana mereka,” gumamku kecil tanpa mendongakkan kepalaku.
            “Mama.. Papa.. mereka.. di.. mana?” tanyaku tersendat-sendat karena terisak. Dokter itu memelukku erat. Aku memberontak, namun ia semakin erat memelukku. Aku menangis kencang dalam pelukannya. Setelah aku tenang, aku melepaskan pelukan itu. Tatapanku kosong.
            “Bagaimana mereka..” aku menahan nafasku sejenak, “meninggal?” nafasku benar-benar sesak ketika aku menanyakan hal itu. Aku tahu jawabannya pasti akan seperti menaburkan garam pada lukaku.
            “Papamu, meninggal di tempat akibat benturan parah di kepala, sedangkan mamamu…” jawab dokter itu menggantungkan penjelasannya.
            “Mamaku.. kenapa?” tanyaku pelan.
            “Dia berhasil hidup dan sudah sadarkan diri, lalu dia mendengar bahwa kau butuh darah dalam jumlah banyak, dan dia..” lagi- lagi dokter itu memotong kalimatnya.
            “Dan dia memberikan semua darahnya yang tersisa untuk kamu, karena kalian memiliki golongan darah yang sama,” lanjutnya lagi. Aku tersenyum getir. Bibirku bergetar. Jadi Mama melakukannya. Merelakan dirinya kehabisan darah agar aku selamat. Segera setelah aku menyimpulkan itu, tetes tetes air mata turun melalui pipiku. Aku mati-matian menahan isak tangisku agar tidak keluar.
            Kenapa Mama Papa… kenapa… kenapa Mama Papa kayak gini?” tanyaku entah pada siapa. Bahkan pandanganku sudah buram karena lapisan air yang berada di depan netraku. Aku mencoba tersenyum, namun lagi-lagi hanya isak tangis yang keluar.
            Aku menghapus jejak air mata di pipiku. Namun itu tidak berguna, karena setelah itu tangisku pecah lagi. Aku menatap ke luar jendela. Hujan membungkus kota. Hujan yang benar-benar deras. Langit menangis, seakan mengerti rasa sakitku. Begitulah akhir dari hari ulang tahun ke dua belasku. Hari paling bahagia dan paling menyedihkan dalam hidupku. Hari, yang tak pernah kulupakan sampai akhir hayatku.

Komentar

Postingan Populer