Dari yang Masih dan Akan Selalu Mencintaimu


Karya : Almira Salsabila Ghassani Asmara

Untuk kamu yang entah di mana. Aku sungguh berharap untaian kata ini akan sampai di tanganmu kelak. Atau mungkin hanya melapuk di kurungan berkedok kamar ini. Yang aku tahu pasti adalah, aku tidak akan punya kesempatan untuk mengetahuinya. Karena saat kau membaca ini, tubuhku sudah terbujur kaku. Aku hanya berpesan. Bahagialah.
            Hey kamu. Percayakah kalau aku masih mengingat setiap detik kebersamaan kita? Aku memang sudah tak lagi muda. Aku bahkan sering lupa di mana aku menaruh kacamata. Tapi entah kenapa, kenangan itu terus terputar bagai film tua.
Setiap aku melihat matahari terbit lalu tenggelam lagi, bintang bermunculan lalu menghilang lagi, ratusan purnama kulalui, kenangan itu selalu menghunjam tanpa ampun berulang kali. Apa kau tahu betapa aku merasa menyedihkan?
Apa kau tahu rasanya dapat melihat setiap detail kurva wajahmu, tiap kali aku membuka mata di pagi hari dan tiap aku mulai memejamkan mata di malam hari? Kurasa kau takkan pernah tahu. Karena aku tahu, hidupmu lebih bahagia tanpaku.
Itu adalah satu-satunya hal yang aku syukuri. Setidaknya aku takkan pernah melihat air mata kepedihanmu mengalir dan menyiksaku berkali-kali lipat dibandingkan saat ini. Biarkan aku yang menanggung itu semua. Rasa sakit, kepedihan, itu bagianku. Kau hanya perlu merasakan bahagia dan betapa indahnya hidupmu, itulah bagianmu.
            Aku tak yakin, apa aku dapat menyebutnya sebagai kenangan paling membahagiakan. Atau justru sebaliknya, kusebut ia kenangan paling meyakitkan. Karena keduanya selalu hadir bersamaan. Haruskah aku sedih karena masa masa itu sudah terlewatkan. Ataukah aku masa itu pernah ada di hidupku?
Sampai sekarang aku bahkan bingung. Apa yang kurasakan di setiap hariku. Entahlah, hatiku sudah beku. Air mataku sudah habis untuk menangisimu. Sejak hari itu. Sejak kalimat itu meluncur bebas dari bibir tak tahu diri milikku, yang berujung sesal hingga akhir hayatku.
Aku tahu sangat tidak benar untuk mengatakan ini. Tapi masih berhakkah aku, untuk mengatakan, bahwa aku masih mencintaimu? Apakah salah apabila aku berkata kalau aku masih menginginkanmu di sisiku, dan dengan tulus mengatakan kalau kau juga masih mencintaiku? Apakah salah jika aku mengatakan, perasaanku terhadapmu masih sama? Tak berkurang walau seinci pun?
Baiklah, aku sudah keterlaluan. Apabila kau tidak keberatan, bolehkah aku mengenang pertemuan pertama kita dulu pada surat ini? Setidaknya, untuk terakhir kali. Sebelum tangan keriput yang terus bergetar ini sudah tak bisa menulis lagi
Di musim panas itu, perkiraan cuaca di ponselku jelas menunjukkan angka 36°C di luar sana. Itu penyebab teriakan kesalku di pagi itu, saat membaca pesan dari temanku untuk mengerjakan tugas kelompok di perpustakaan kota. Aku harap tetanggaku tidak terlalu kesal terhadapku karena telah merusak paginya yang damai.
Suara sandal jepitku menggema di lorong perpustakaan. Kenapa? Aku hanya tidak sanggup memakai sepatu di hari sepanas ini. Tepat tengah hari, panas matahari seakan membakar kulitku. Aku berjalan cepat menuju rumah. Tak peduli dengan kertas tugas yang lecek di genggamanku.
Ctarr. Apa kau tahu betapa ingin aku mengumpat saat itu? Sandal jepitku putus di seperempat pertama perjalanan. Aku sangat kesal, tapi aku juga bersyukur. Karena saat itulah kau datang. Siluet tubuhmu yang tidak terlihat jelas karena mentari mendekati tubuhku yang terduduk.
“Perlu bantuan?” itu yang kau katakan. Oh tuhan, aku masih bisa mendengar suaramu dengan jelas sampai saat ini. Suara lembut itu menyapa telingaku. Sampai akhirnya kau terlihat jelas. Mata tajam hangatmu, rahang indah itu, senyum yang terlukis di wajahmu, dan tanganmu yang terulur padaku. Semua itu masih dapat terlihat jelas di depan mataku bahkan hingga saat ini.
Kau tahu? Saat permukaan kulitmu sudah bergesekan denganku, aku kehilangan kewarasan. Pikiranku hilang entah ke mana. Aku seakan melayang ke angkasa.
“Hey? Kau tidak apa-apa?” perkataanmu itu yang menarik semua kesadaranku kembali. Aku menyisir rambut dengan canggung. Kau ingat apa yang aku katakan saat itu?
“Oh ya, tentu saja, hanya… masalah kecil,” itu yang aku katakan saat aku bahkan belum berani menatap mata indahmu. Kau menyodorkan beberapa kertas tugasku yang berserakan. Detak jantungku menggila. Aku tak tahu apa yang terjadi. Saat itu kau berkata wajahku memerah, dan menanyakan apa aku sakit. Apa kau ingat semua itu? Aku rasa tidak. Ck, untuk apa aku berharap?
Hari demi hari terlewati. Dunia berputar dengan cepat bagi kita. Aku senang kau mau menerimaku apa adanya. Saat aku melihat pandanganmu, aku merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.
Tiap kali aku memandangi setiap kurva di wajahmu, aku terus berkata dalam hati, ‘Oh Tuhan, aku sangat mencintai ciptaan-Mu ini, aku akan selalu mencintainya sampai maut menjemputku’. Dan apa kau tau? Aku masih menggumamkan itu di setiap malamku.
Namun sekarang aku bisa apa? Melihatmu saja aku tidak mampu. Aku tidak tahu bagaimana kabarmu. Apa bekas luka di masa lalu itu sudah pudar? Atau masih terus bertahan? Yang aku tahu, aku hanya bisa menyelipkan namamu dalam doaku.
Oh tidak, kertas ini sedikit basah. Kurasa sampai di sini saja. Aku akan berharap surat ini bisa sampai di tanganmu. Jika tidak, biarlah hal ini menjadi rahasiaku seorang. Setelah kau membaca ini, kuharap kau tidak bersedih. Jangan sia-siakan lagi waktumu untuk orang sepertiku. Dan tolong ingat pesanku. Bahagialah.

Dari yang masih, dan akan selalu mencintaimu. 

Komentar

Postingan Populer