24 Juli, Mereka Pergi
Karya : Almira Salsabila Ghassani Asmara
Sulur-sulur
cahaya menyeruak masuk dari sela-sela tiraiku. Hangatnya mentari membelai
lembut mataku yang belum mau terbuka. Jendela kayu tua itu berderit terkena
angin. Tak lama kemudian, suara burung berkicau terdengar tepat di depan
jendelaku. Seakan-akan alam sedang bekerja sama untuk memaksaku bangkit dari
kasur. Kurasa mereka berhasil. Aku menguap lebar, merentangkan kedua tanganku.
Setelah menyelesaikan rutinitas
pagiku, aku turun ke ruang tamu. Menyapa Mbak Sisi yang berada di balik meja
resepsionis.
“Pagi, Mbak,” sapaku.
“Pagi, Mila, kau mau pergi ke mana?”
tanyanya. Aku hanya tersenyum tipis.
“Ah, benar, hari ini tanggal 24
Juli, apa kau membutuhkan uang?” tanyanya lagi.
“Tidak, Mbak, aku sudah besar
sekarang, aku punya uang sendiri,” jawabku sambil tertawa kecil. Setelah
sedikit berbasa-basi. Aku berangkat.
Aku berjalan dengan tenang di
sepanjang jalan. Sesekali tersenyum dan menyapa orang yang kukenal. Kakiku
terus melangkah menyusuri bibir jalan yang lumayan ramai sekarang. Entah sudah
berapa lagu yang aku senandungkan sejak tadi.
Matahari bersinar terang. Hangatnya
menyiram tubuhku yang dibalut baju tipis berwarna gelap. Angin lembut menerpa
wajahku, menerbangkan anak rambut yang menutupi dahiku. Awan putih tipis
menyelimuti langit. Sungguh cerah cuaca hari ini. Hari ini spesial, begitu juga
dengan mereka yang akan kutemui hari ini.
Kaki kecilku kembali membawaku
menyusuri bibir jalan. Ini masih seperempat jalan menuju tempat yang akan aku
tuju. Bibir mungilku juga tidak berhenti menyenandungkan lagu apa saja yang
terlintas di pikiranku. Sesekali mencoba bersiul namun berakhir kesal karena
hanya angin yang keluar. Aku bingung bagaimana orang lain dapat bersiul dengan
mudahnya.
Kring.
Lonceng di depan pintu berbunyi
ketika aku membukanya.
“Selamat datang, oh, Mila ternyata,”
sapa seorang wanita paruh baya. Pemilik toko bunga yang saat ini aku datangi.
“Hehe, selamat pagi, Bu,” sapaku
balik.
“Mau pesan apa? Yang biasa?”
tanyanya.
“Iya, Bu, yang biasanya saja,”
jawabku.
“Sekarang tahun ke enam ya, Mila?”
tanyanya.
“Iya, tepat hari ini, sudah enam
tahun,” jawabku sambil tersenyum.
“Sampaikan salamku, ya,” pintanya.
Aku hanya mengangguk.
Ia lalu pergi untuk merangkai dua
set buket bunga. Pembungkus bening yang dilengkapi pita merah muda besar,
membalut dua buket bunga mawar dengan beberapa macam warna. Biar aku jelaskan
secara singkat.
Terdapat bunga mawar pink tua, yang
sangat cantik dan segar. Bunga itu melambangkan rasa terimakasih pada orang
yang kita tuju. Juga ada mawar merah yang terlihat indah. Bunga mawar merah
melambangkan perasaan yang amat mendalam, baik itu cinta, maupun kerinduan.
Yang terakhir bunga mawar putih. Bunga mawar putih ini terlihat sangat anggun
dan mempercantik rangkaian bunga ini. Arti di baliknya bisa berupa ketulusan,
atau bisa juga diartikan sebagai…. permohonan maaf.
Setelah membayar, aku segera
melanjutkan perjalanan. Dengan novel yang berada di tangan kiriku dan tangan
kananku yang menggenggam dua buket bunga dengan sangat erat. Aku berjalan
menjauhi keramaian. Keluar dari pemukiman. Terus berjalan membelakangi padatnya
kota. Memasuki sebuah daerah yang sangat sejuk. Beberapa pohon besar tumbuh
secara acak.
Aku terus berjalan menaiki bukit
kecil. Dari bukit itu aku bisa melihat padatnya kota. Aku memejamkan mata.
Menghirup udara dalam-dalam. Merasakan udara memenuhi paru-paruku. Lalu
menghembuskannya perlahan sambil membuka mata. Aku berbalik, kembali
memunggungi kota.
Aku menatap tujuan perjalananku hari
ini. Tempat yang aku kunjungi setidaknya sekali setahun. Aku selalu ke sini
setiap hari penting. Seperti ulang tahunku, dan ulang tahun mereka. Namun
kadang aku juga ke sini saat bahagia, sedih, maupun tertekan. Aku tersenyum
lebar. Lalu berjalan perlahan mendekatinya.
Aku berjongkok, kemudian terduduk.
Aku meletakkan buket bunga itu di sana. Tanganku terulur menyentuh permukaan
batu yang sedikit berlumut itu. Hangat. Aku lega, setidaknya tempat ini
terawat. Jari-jariku menyusuri tulisan yang terpatri pada batu itu. Aku juga
melakukan hal yang sama untuk batu di sebelahnya.
Perlahan ibu jariku menyusuri sebuah
nama di permukaan batu itu. Kemudian turun, lalu menyusuri angka-angka yang ada
di sana. Mataku memanas. Aku mendongakkan kepala sambil tertawa kecil. Aku
menyamankan posisiku. Karena aku pasti akan ada di sini seharian untuk
bercerita atau sekedar membaca buku.
Tepat tanggal ini, bulan ini, enam
tahun yang lalu. Mereka pergi.
“Apa kabar, Mah, Pah?”.
Komentar
Posting Komentar