“Maaf, Yati,”
Oleh : Almira Salsabila Ghassani Asmara
Di antara rumah warna-warni. Di bawah
naungan pohon kersen. Di bawah siraman terik mentari. Di dalam rengkuhan angin
semilir. Dengan setangkai lollipop di genggaman. Aku bertemu denganmu. Dan aku
menyesali itu.
Sepertinya
matahari sedang dalam mood yang baik.
Lihatlah betapa semangatnya ia menyinari bumi. Aku mengusap peluh di dahi,
mengipasi diri dengan tanganku sendiri. Aku melemparkan sandal jepit bututku ke
dahan pohon tempat aku bernaung. Buah kersen berjatuhan dan dengan sigap aku
tangkap. Pohon ini akan selalu menjadi pohon favoritku, sebuah pohon kokoh di
pinggir Kali Code.
Aku
mendesah pelan. Mengusap perutku yang tak berhenti bernyanyi. Aku teringat
belum ada yang mengisi perutku seharian ini. Padahal matahari sudah mulai
kembali ke peradaban. Oh, aku merasakan sesuatu yang mengganjal di sakuku. Lollipop! Tak apa, ini lumayan, daripada
membiarkan perutku menderita sepanjang malam. Aku baru akan membuka bungkusnya
ketika mataku menangkap sesosok anak kecil yang mendekat.
“Hai,”
ujarnya. Aku mengernyit. Aku, seorang bocah nakal yang hobi keluyuran, mengenal
semua orang di pemukiman kumuh ini. Namun, hanya anak ini yang belum pernah
kukenal, bahkan melihatnya saja belum pernah. Apalagi dengan pakaian dan
rambutnya terlalu rapi untuk ukuran anak sepertiku.
“H..Hai,”
jawabku ragu.
“Kamu
anak sini, ‘kan? Ayo main, namaku
Rista,” ajaknya sambil memperkenalkan diri. Aku tersenyum.
“Ayo,
namaku Yati,” jawabku mengindahkan ajakannya. Ia duduk di sampingku dengan
sangat hati-hati. Aku terheran.
“Kamu
baru pindah ke sini, ya?” tanyaku.
“Ssst..
sebenarnya aku tidak tinggal di sini, tapi jangan bilang siapa-siapa, ya,”
jawabnya. Aku hanya mengangguk. Yang kutahu hanyalah sekarang aku dan dia
berteman.
Sejak
itu, setiap hari aku bermain dengannya. Ia sangat cantik, sungguh. Rambut panjangnya
biasa diikat dengan kucir merah muda. Matanya selalu berbinar ketika aku
menunjukkannya sesuatu yang baru untuknya. Dia
sungguh mengagumkan.
“Rista,
awas!” jeritku sepersekian detik sebelum rista jatuh menabrak dinding. Dengan
cepat aku menghampirinya. Mataku menatap tajam Rista menyiratkan kekhawatiran.
Segera setelah sampai, aku memeluknya.
“Hehe,
pusing,” ujarnya sambil memamerkan deretan gigi rapinya. Setetes air mata
berkumpul di pelupuk matanya, mengantre untuk keluar. Namun Rista segera
menghapusnya.
“Maaf,
sepedamu sepertinya rusak,” ujarnya lagi. Oh yang benar saja, sahabat pertamaku
sedang kesakitan, aku tak peduli dengan sepedaku.
Itu kegiatan minggu pertama kami,
mengajarinya bersepeda dan kautahu apa yang terjadi. Minggu kedua, aku
mengajaknya berkeliling desa. Aku sangat bangga padanya, hanya dalam kurun
waktu seminggu, ia hampir mengenal semua orang di desa ini. Begitu seterusnya.
Selalu ada yang dapat kami lakukan.
Aku sudah hafal waktu bermainnya.
Rista akan datang jam sepuluh. Lalu pulang sebelum jam empat. Kecuali hari Minggu.
Ia akan datang lebih pagi, lalu kami mandi di kali. Entah sudah minggu ke
berapa hari ini, tapi aku selalu setia menunggunya di bawah pohon kersen
favorit kami hingga sesosok gadis kecil cantik datang menaikkan sudut bibirku.
Membentuk kurva yang indah.
Ia datang dengan menenteng sebuah
tas kresek putih di tangan kanannya.
ia berlari dan menubruk tubuhku. Perlahan ia mengeluarkan sebuah bingkisan
berisi roti kukus kecil. Lalu ia mempercantik kue itu dengan sebuah lilin kecil
di pucuknya. Menyodorkannya perlahan ke arahku.
“Selamat ulang tahun ke-7, Yati,
maaf aku tak bisa menyalakan api,” suaranya mengecil saat mengucapkan kalimat
terakhirnya. Aku tertegun. Selama ini tidak ada yang pernah merayakan ulang
tahunku. Aku tersenyum, mengangguk. Meraihnya dengan mantap. Hari itu, ucapan
ulang tahun pertamaku. Dari sahabat pertamaku, Rista.
Hari ini, Minggu ke dua puluh
delapan kami. Seperti biasa, aku menunggunya di bawah pohon kersen, memandangi
langit yang sedikit redup, mengisyaratkan sebuah tanda. Aku melempar ranting
kecil di sampingku, menjatuhkan buah kersen yang memerah. Tak lama, ia datang.
Sontak aku berdiri, menyambutnya.
Kami menghabiskan pagi dengan mandi
di kali. Tidak ada bagian tubuh kami yang masih kering. Suara tawa bersautan,
kecipak air menghiasi, siulan burung mengiringi. Kami sangat bahagia. Untuk
sesaat aku merasa tidak ada yang bisa membuat hari ini buruk.
Yahh… untuk sesaat. Sebelum seorang wanita paruh baya berpakaian rapi
datang dengan mata berapi-api. Menatap tajam Rista yang memunggunginya. Suara melengkingnya
membuat tawa kami terhenti, menyisakan sepi.
“Angel, apa yang kamu lakukan!” tangannya mengepal, buku jarinya
memutih. Aku dapat merasakan tubuh Rista menegang. Tapi, mengapa?
“Angelia Aerista, pulang sekarang!” bentaknya sekali lagi. Tunggu,
Angelia Aerista? Aku melirik ke arah Rista, mungkinkah?
“Maaf, Yati,” bisiknya dengan suara bergetar. Dua kata yang sukses
membuat pikiranku berkecamuk. Aku menatap nanar Rista yang bangkit dan perlahan
menghampiri wanita itu. Sampai akhirnya sosoknya hilang, masuk ke dalam mobil
hitam yang langsung melesat dengan cepat. Aku kehilangan Rista, sahabat
pertamaku. Aku.. benar-benar kehilangannya.
Klik. Aku menutup kotak penyimpan kenangan. Kotak itu
berisi barang yang mengingatkanku pada keriangan kami dulu. Kemudian menatap
sesuatu yang melingkari pergelangan tanganku. Ikat rambut merah mudanya, yang
tertinggal di hari terakhir kami bertemu. Aku menghela nafas, kemudian bangkit
keluar rumah.
Ya, belasan tahun berlalu. Entah sudah berapa Minggu kulewatkan tanpanya.
Seharusnya aku melupakannya. Mungkin sekarang ia sudah tak ingat denganku.
Mungkin kini dia sedang sibuk dengan dunianya yang jelas lebih mewah dari
duniaku. Bersama seorang wanita yang waktu itu memisahkan kami. Yang kutahu
adalah anggota parlemen. Aku tahu sejak sekolah dulu.
Aku menyipit seiring dengan kilau matahari yang mendesak masuk ke mataku.
Tersenyum tipis melihat pekerjaan yang hampir tuntas di depanku. Tak terasa,
waktu cepat berlalu. Kini aku menjadi wanita dewasa, yang harus mampu mencukupi
kehidupanku sendiri. Bukan untukku saja, tetapi untuk semua.
Lingkunganku jauh dari hiruk pikuk kota, tapi orang-orang di sekitarku
tak pernah tinggal diam. Mereka ulet mencari penghidupan, meskipun hanya dengan
menjahit pakaian. Aku memutuskan membuat sebuah yayasan, mewadahi keterampilan
mereka untuk memenuhi kebutuhan. Dengan tenaga kerja seadanya, aku mengakomodir
semua lansia, orang dewasa, maupun remaja yang mau bekerja. Sampai sekarang aku
sudah dapat mengembangkan usaha jahit baju. Tidak hanya itu, aku juga
mengembangkan perpustakaan mini dan sekolah gratis untuk anak-anak yang kurang
beruntung atau sebagai temat menitipkan anak ketika ibunya bekerja. Aku tak
ingin membuat mereka kehilangan mimpi. Seperti yang pernah kualami, dulu.
Hari ini cukup cerah.
Aku berjalan-jalan ke arah Kali Code. Menatap riak air yang tercipta di sana.
Kemudian duduk di tempat yang sampai sekarang masih menjadi kesukaanku. Pohon
kersen kami. Bukan, sekarang pohon kersen hanyalah milikku. Aku menatap ke atas
ketika atensiku teralih pada sebuah mobil hitam yang terparkir di bibir jalan.
Seorang wanita keluar
dengan anggunnya. Mataku memicing untuk melihat dengan jelas. Wanita itu
melepas kacamata hitamnya. Mata inteleknya menyapu sekitar. Ia berhenti saat
pandangan kami bertemu. Netranya mengingatkanku pada seseorang. Aku bangkit,
bergerak cepat setengah berlari. Kerutan tipis terukir di dahinya.
Aku terengah, senyumku
merekah. Sedikit lagi, keinginanku selama ini terpampang nyata di hadapanku.
“Ris..” duk. Kalimatku terhenti begitu orang
bertubuh kekar di belakangnya menubruk bahuku. Hatiku mencelos. Nafasku
tercekat. Perlahan aku berbalik. Menatap sosoknya yang melewatiku begitu saja.
Tanpa sepatah kata keluar dari bibirnya. Tunggu, benarkah itu dia?
Pagi ini tak seperti
biasanya. Dari balik kaca jendela yang mulai kusam, aku melihat warga
berduyun-duyun ke balai desa. Mereka tampak bahagia, seperti akan berjumpa dengan
tokoh idolanya. Aku segera menggelung rambut, menyambar sandal jepitku, dan
bergegas ke balai desa.
Pandanganku terhalang
orang-orang yang memenuhi pendapa kecil
ini. Hingga seseorang menghampiri dan membantuku menyibak kerumunan warga. Ia
mempersilakanku duduk di barisan kursi paling depan. Di tengah keherananku, aku
tersentak saat wanita yang kemarin kutemui berdiri di hadapanku, berdampingan
dengan kepala desa, dengan beberapa orang berpakaian hitam yang setia
menjaganya di bawah panggung.
Pikiranku bercabang,
siapa gerangan wanita ini. Hingga akhirnya aku tahu bahwa dia orang berpengaruh
bagi desa kami. Dalam benakku, aku sangat berharap kedatangannya membawa kebahagiaanbagi
desa ini. Namun, aku salah. Datangnya hanya untuk mewujudkan keinginan
pribadinya. Keinginan para konglomerat di kota. Sungguh, hatiku perih. Pipiku
memanas, tanganku mengepal, aku mengatupkan rahang dengan kuat. Berusaha
menahan gejolak dalam dadaku.
Setiap kata yang keluar
dari bibirnya seakn menampar diriku. Sesaat nafasku berhenti. Aku kehilangan
keseimbangan. Tubuhku mulai gontai. Saat aku berusaha beranjak dari sana, dia
berlalu.
“Maaf, Yati.” Kata-kata
itu masih terdengar sama seperti yang pernah ia ucapkan dulu. Masih sama
untukku, menancapkan sembilu.
Komentar
Posting Komentar